Join The Community

Premium WordPress Themes

Friday 17 December 2010

Membeli Rasa Rindu





Ada seorang lelaki datang, Ramadhan lalu. Ia butuh teman yang mau mendengar suara hatinya. Ia butuh kawan untuk berbagai perasaan; mengabarkan tentang kesedihan hatinya yang sangat mendalam. Ada tangis yang tertahan.

Ia datang menangis bukan karena hilangnya harta. Tetapi ia menangis karena tak punya rasa rindu pada bapaknya. Ingin benar rasanya mengumpulkan seluruh perasaan yang ada agar hatinya dipenuhi kerinduan untuk bertemu dan berbuat baik pada bapaknya. Ingin rasanya seperti manusia-manusia lain, ia datang memeluk bapaknya setelah lama tak bertemu. Ingin rasanya ia memapah bapaknya yang sudah tak kuat berjalan dengan penuh rasa takzim, demi meraih kunci surga karena bakti pada orangtua. Tetapi perasaan itu telah mati. Atau hampir-hampir tak ada lagi. Kalau saja rasa rindu itu bisa dibeli, ia ingin membelinya. Tetapi dimana?

Sahabat kita ini tidak sendirian. Banyak orang-orang yang mengalami keperihan serupa. Di antara mereka ada yang merasakan pahitnya menahan rindu di saat kakinya belum kuat untuk berjalan, tetapi ia tidak mendapatkannya. Di antara mereka ada yang tak kuat menanggung keinginan untuk sekedar dibelai rambutnya, sehingga harus jatuh sakit karena bapaknya tak mau mengikhlaskan tangannya untuk menyentuh. Di antara mereka ada yang harus melakukan kenakalan yang memalukan demi merebut sepotong perhatian dari orangtua, tetapi tidak ada yang mereka dapatkan kecuali luka hati yang semakin menyakitkan. Di saat keinginan untuk dekat itu sudah mati, dunia ternyata berubah. Bapaknya yang dulu sangat gagah itu, sekarang sudah tua renta. Bapaknya yang dulu bertabur kemakmuran itu, sekarang sudah perlu disantuni. Bapaknya yang dulu tak punya ruang sedikitpun untuk mengobati rasa rindunya, sekarang hari-harinya dipenuhi dengan keinginan untuk meraih sepotong perhatian darinya.

Tetapi, seperti kata Nabi, “Barangsiapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.” Man la yarham, la yurham. (HR. Muslim).

Pesan Nabi saw. ini mengingatkan saya pada peristiwa yang disebut dalam hadis shahih riwayat Bukhari. Suatu saat Rasulullah saw mencium cucunya. Seorang pembesar bernama Aqra’ bin Habis At-Tamimi melihatnya, lalu berkomentar, “Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kucium.” Rasulullah saw lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih, “Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang dari hatimu!”

Kalau di masa kecil anak-anak kita tidak pernah merasakan kasih-sayang bapaknya, maka bukan salah ibunya kalau mereka tak memiliki rasa rindu saat kita tua. Ibarat tanaman, perasaan ingin membahagiakan orangtua itu tak pernah terpupuk, sehingga sulit mengakar dalam hati.

Saya pernah bertemu dengan seorang ayah. Wajahnya tampak renta, menunjukkan usianya yang sudah sangat tua. Berjalan pun hampir tak bisa. Seorang anaknya, kebetulan, memiliki kekayaan yang berlimpah. Banyak negara yang telah dijelajahi untuk berwisata. Apalagi kalau cuma ke negeri tetangga, bisa dilakukan kapan saja. Yang tidak bisa cuma satu: mengunjungi ayahnya. Datang menengok ayahnya yang tua renta, seolah barang mewah yang lebih sulit dijangkau daripada negeri-negeri yang jauh.

Apa yang pernah terjadi sebenarnya?

Di masa lalu, ayahnya hampir tidak pernah memberi perhatian, meski cuma berupa panggilan sayang. Ayahnya banyak berkecimpung dalam usaha-usaha agama. Tetapi bukan itu yang menyebabkan ia tak sempat mengusap anaknya. Anak-anak yang lain ia sekolahkan dengan baik. Seorang anaknya belajar di sebuah pesantren besar dengan dukungan fasilitas dari orangtua yang lebih dari sekedar cukup. Anak-anak lainnya pun demikian, memperoleh pendidikan dan perhatian yang baik darinya. Tetapi anak yang satu ini, ia lupa. Ia lalai memperhatikan anaknya. Agaknya, ada yang tidak sesuai dengan harapannya ketika anak itu lahir sehingga semenjak kecil sudah “disisihkan”.

Kadang yang membuat anak “tersisih” atau bahkan sengaja “disisihkan” oleh orangtua adalah karena ia tidak secerdas saudara-saudaranya yang lain. Orangtua lebih memperhatikan anak yang cemerlang karena dianggap punya masa depan. Padahal banyak sarjana yang hanya menjadi beban. Sementara tidak sedikit orang-orang yang secara formal pendidikannya lebih rendah, justru sangat mandiri dan memberi “cahaya” pada ummat.

Hampir serupa dengan itu, ada cerita lain yang sangat menyedihkan. Seorang remaja menelpon orangtuanya dan berkata, “Fuck you, Mom! Bajingan kamu, Mama.” Anak ini marah kepada orangtuanya karena ia hanya diberi uang, telepon genggam, credit card dan fasilitas hiburan yang berlimpah di rumahnya, tetapi tanpa kasih-sayang dan perhatian. Tak ada yang bisa mendengarkan cerita-ceritanya ketika ia sedang bergembira atau saat dirundung kesedihan luar biasa. Satu-satunya yang mau mendengarkan adalah pembantu di rumah. Entah karena tulus atau karena takut.

Bagi anak ini, nasehat tentang surga di bawah telapak kaki ibu menjadi berita yang menyakitkan telinga. Sebab, kasih-sayang seorang ibu adalah impian yang sangat sulit ia raih. Apalagi perhatian seorang bapak. Padahal ibunya tidak memiliki tanggung-jawab khusus yang mengharuskannya banyak keluar rumah. Ibunya bukan seorang pejabat. Bukan pula da’iyah yang harus memberi penyadaran pada ummat. Tetapi ia lebih sering di luar rumah daripada menemani anaknya belajar matematika. Sedangkan bapaknya, setali tiga uang. Waktunya lebih banyak di luar rumah bukan karena berjuang demi keluarga –apalagi agama. Tetapi hanya sibuk menumpuk rupiah. Karenanya tak ada yang bisa dibanggakan oleh anak dari ibu maupun bapaknya.

Di tempat lain, ada ibu-ibu berpendidikan S-3, tetapi memberikan pendidikan kepada anaknya dengan kualitas SD. Ilmu yang didapatkannya dengan susah payah dari perguruan tinggi tidak digunakan untuk mendidik anaknya. Ia memilih untuk menerapkannya di luar dengan alasan agar tidak sia-sia biaya besar yang telah dikeluarkan untuk kuliah. Bukankah sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang manfaat? (Sebenarnya saya ingin bertanya, “Lalu untuk siapakah engkau menuntut ilmu itu?”). Walhasil, pendidikan anak cukup ditangani oleh pembantu saja. Bersyukur kalau pembantu memiliki tanggung-jawab ukhrawi yang besar. Kalau ia hanya mencari keping-keping rupiah saja?

Ah, diam-diam saya jadi miris membayangkan anak-anak itu sesudah dewasa. Teringat saya pada sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Ali bin Thalib, “Jika ummatku mengerjakan lima belas perkara, maka mereka akan ditimpa musibah.”

Ada yang bertanya, “Apa itu wahai Rasul Allah?”

Beliau menjawab, “Jika harta rampasan dibagi secara bergiliran (satu kaum mendapatkan dan kaum yang lain tidak mendapatkannya), amanat dianggap sebagai harta rampasan, zakat dianggap sebagai main-main, jika lelaki patuh kepada istrinya, jika seseorang durhaka kepada ibunya, lebih suka berbuat baik kepada rekannya dan kasar terhadap ayahnya, jika ada suara-suara yang keras di dalam masjid, jika pemimpin kaum adalah orang yang paling hina di antara mereka, orang yang paling mulia takut kepada kejahatannya, jika khamr diminum, sutera dikenakan kaum laki-laki, wanita-wanita penyanyi dan alat-alat musik diambil, jika yang akhir dari ummat ini melaknat yang awal. Maka hendaklah pada saat itu mereka mewaspadai aroma paceklik, kekurangan bahan makanan atau perubahan rupa.” (HR. At-Tirmidzi).

Jika anak-anak itu tumbuh tanpa rasa hormat pada orangtua, apakah yang bisa menjamin kita agar mereka tidak durhaka pada bapak ibunya? Beruntung kalau anak-anak itu hatinya mendapat celupan agama. Sekalipun tak sanggup untuk membangkitkan rasa rindu dan hormat kepada orangtua, ia masih bisa memaksakan diri untuk menyantuni mereka demi meraih ridha Allah. Tapi kalau iman mereka kosong? Saya tak dapat membayangkan.

Ah….
Tampaknya ada yang perlu kita benahi. Tentang niat kita mendidik anak. Tentang tujuan kita menyekolahkan mereka. Tentang arah hidup kita sendiri. Juga tentang apa yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di yaumil-akhir.

Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas mendidik anak-anak kita sendiri. Semoga pamrih-pamrih kita dalam mendidik mereka di waktu-waktu yang lalu, hari ini kita sadari, kita insyafi, dan kita benahi.

Semoga Allah menolong kita.
(oleh:Muhammad Fauzil Adhim)

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kritik dan masukan dari teman-teman.